Breaking News

Belajar dari Amerika Serikat: Mitigasi Bencana yang Cepat, Terkoordinasi, dan Berbasis Sistem


Tajuk Editorial Redaksi GPN News 
Oleh: Junaidi Yusuf 
Alumni Consultants Program:
PPK - PNPM [MP,] dan BRA

Belajar dari Amerika Serikat: Mitigasi Bencana yang Cepat, Terkoordinasi, dan Berbasis Sistem

Amerika Serikat kembali menghadapi rangkaian bencana alam, mulai dari badai besar, tornado, banjir, hingga badai salju yang menelan korban jiwa serta menimbulkan kerugian ekonomi signifikan. 

Namun, sorotan utama bukan pada besarnya dampak, melainkan pada pola penanggulangan bencana yang relatif konsisten: respons cepat, terkoordinasi, dan minim kebingungan struktural.

Amerika Serikat bukan negara yang kebal bencana. Justru sebaliknya, negara ini termasuk yang memiliki tingkat eksposur risiko bencana tertinggi di dunia. 

Perbedaan-nya terletak pada cara negara mempersiapkan diri dan bergerak ketika krisis datang. Dalam arsitektur kebijakan publiknya, bencana diperlakukan sebagai risiko struktural yang pasti berulang, bukan sekadar musibah insidental.

Mitigasi, pembiayaan darurat, dan skenario terburuk telah disiapkan jauh sebelum bencana terjadi. Negara tidak disibukkan oleh perdebatan status darurat ketika korban sudah berjatuhan. Begitu ambang dampak tertentu terpenuhi, status darurat bergerak otomatis dan mesin negara langsung bekerja. 

Pendekatan ini mencerminkan penerimaan terhadap realitas risiko, bukan penyangkalan demi stabilitas semu.

Pusat dari sistem penanggulangan bencana Amerika adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA), sebuah lembaga sipil permanen yang secara khusus dibangun untuk menangani bencana.

FEMA bukan panitia ad hoc, melainkan bagian inti dari tata kelola negara dengan peran jelas: koordinasi lintas negara bagian, mobilisasi logistik nasional, penyaluran dana darurat, hingga rekonstruksi pascabencana. Dengan satu komando sipil yang tegas, respons negara tidak terfragmentasi oleh ego sektoral atau tarik-menarik politik.

Respons cepat juga ditopang oleh desentralisasi yang fungsional. Pemerintah lokal dan negara bagian memiliki kewenangan penuh untuk bertindak cepat mulai dari evakuasi, pembukaan shelter, hingga distribusi bantuan awal tanpa menunggu izin pusat. 

Ketika kapasitas lokal terlampaui, pemerintah federal masuk membawa skala: dana, logistik, personel, dan teknologi. Hasilnya adalah pembagian peran yang jelas antara kecepatan lokal dan daya jangkau nasional.

Sistem peringatan dini yang kuat, melalui National Weather Service (NWS) dan NOAA, menjadi tulang punggung mitigasi. Namun faktor kunci bukan hanya teknologi, melainkan kepercayaan publik. Ketika peringatan dikeluarkan, keputusan sulit segera diambil: sekolah ditutup, penerbangan dibatalkan, dan evakuasi dilakukan. 

Keselamatan manusia didahulukan dibanding menjaga citra ekonomi atau pariwisata.

Bantuan darurat di Amerika Serikat kerap tiba dalam hitungan jam hingga hari, bukan minggu. Kontrak logistik dan pendanaan telah disiapkan sebelum bencana terjadi, sehingga dana darurat dapat dicairkan tanpa proses revisi anggaran yang panjang. Sektor swasta terintegrasi sebagai mitra operasional, bukan sekadar penonton. Tidak ada alasan klasik “anggaran belum turun” ketika warga kehilangan tempat tinggal.

Militer memang dilibatkan dalam penanggulangan bencana seperti evakuasi, transportasi, dan rekayasa darurat namun tetap berada di bawah komando sipil. Perannya sebagai penguat kapasitas, bukan pengambil alih tata kelola. Bencana tidak dijadikan panggung politik atau alasan perluasan peran militer dalam urusan sipil.

Setiap bencana besar di Amerika Serikat juga diikuti evaluasi terbuka: audit, laporan publik, investigasi kegagalan, bahkan gugatan hukum. Kritik tidak dianggap ancaman, melainkan bagian dari proses belajar. Kesalahan hari ini menjadi dasar mitigasi esok hari.

Pelajaran pentingnya, kecepatan penanggulangan bencana bukan soal negara kaya atau miskin, melainkan soal arsitektur institusi dan keberanian mengambil keputusan rasional. Amerika bergerak cepat bukan karena sempurna, tetapi karena bencana diperlakukan sebagai urusan negara, keselamatan publik diutamakan di atas citra politik, dan sistem lebih penting daripada seremoni.

Di era krisis iklim, bencana bukan lagi anomali, melainkan keniscayaan. Negara yang lambat sering kali bukan karena alamnya kejam, tetapi karena tata kelolanya rapuh. Dalam konteks Indonesia termasuk musibah banjir dan longsor di Sumatra pembelajaran ini menjadi relevan. 

Kepemimpinan daerah yang mendorong percepatan bantuan dan memudahkan kolaborasi lintas pihak dapat memperkuat perlindungan warga, tanpa harus melangkahi sistem.

Negara memiliki sistem, namun efektivitasnya bergantung pada keberanian menyederhanakan administrasi saat krisis. Sejarah mencatat, alam boleh menghantam, tetapi negara yang gagal melindungi warganya akan selalu dimintai pertanggungjawaban.

© Copyright 2022 - GAJAH PUTIH NEWS.COM