![]() |
Muhammad Irham Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan dan Pengamat Energi Aceh (Foto: Dok. Safuan) Redaksi / Sabtu, 4 Oktober 2025 Gajahputihnews.com |
Antrean panjang di SPBU Aceh belakangan ini kembali menyita perhatian publik. Sopir angkutan kehilangan order karena terlalu lama mengantre, nelayan menambatkan perahu karena solar tak tersedia, sementara warga harus membeli bahan bakar eceran dengan harga dua hingga tiga kali lipat. Kelangkaan biosolar memang bukan peristiwa baru, tetapi ia selalu menyingkap pola lama. Kuota yang tak sejalan dengan kebutuhan, distribusi yang rapuh, kebocoran subsidi yang dibiarkan, serta politisasi isu yang kerap menempatkan rakyat kecil hanya sebagai angka statistik.
Secara resmi, Aceh mendapat jatah biosolar pada 2025 sebesar 410.544 kiloliter dari total kuota BBM bersubsidi 986 ribu kiloliter. Angka ini cukup besar di atas kertas, tetapi jelas lebih kecil daripada usulan Pemerintah Aceh yang mencapai lebih dari 500 ribu kiloliter. Selisih ratusan ribu kiloliter inilah yang setiap tahun menimbulkan kerawanan, terlebih di tengah meningkatnya aktivitas transportasi, pariwisata, dan kebutuhan nelayan. Kuota yang dipangkas berarti memperbesar risiko krisis, dan rakyatlah yang harus menanggung akibatnya.
Pertamina sering kali menyebut cuaca buruk di laut sebagai biang keladi keterlambatan distribusi. Kapal tanker yang membawa solar ke Terminal BBM Krueng Raya dikabarkan kerap tak bisa bersandar karena gelombang tinggi. Alasan ini mungkin benar, tetapi terlalu menyederhanakan kenyataan. Jika kelangkaan hanya soal cuaca, seharusnya krisis terjadi sesekali. Faktanya, hampir setiap tahun Aceh menghadapi masalah serupa. Ini menegaskan adanya kerentanan struktural dalam distribusi dimana jadwal pengiriman yang tidak adaptif, stok cadangan minim, serta lemahnya pengawasan di SPBU.
Yang lebih krusial, kelangkaan juga diperburuk oleh kebocoran. Praktik “kencing” BBM yakni penyedotan biosolar subsidi untuk dijual ke pihak industri atau spekulan masih berlangsung.
Truk-truk besar yang seharusnya membeli BBM nonsubsidi justru antre di SPBU, bahkan berkolusi dengan oknum. Aparat sesekali melakukan penindakan, tetapi sifatnya seremonial dan tidak memberi efek jera. Akibatnya, subsidi yang dibiayai dari APBN justru lebih sering jatuh ke pihak yang tidak berhak, sementara sopir angkot, nelayan, dan petani yang bergantung pada biosolar hanya bisa mengeluh.
Dimensi politik membuat situasi makin keruh. Setiap kali kelangkaan terjadi, isu ini cepat berubah menjadi bahan serangan politik. Pemerintah daerah menjadikannya alasan untuk menekan pusat dengan dalih “kebutuhan khusus Aceh,” sementara elit nasional menjadikannya bukti lemahnya tata kelola energi. Dalam permainan ini, penderitaan rakyat kecil sekadar menjadi komoditas politik, sementara akar persoalan tidak kunjung dibenahi.
Jika ditarik lebih luas, kasus Aceh sesungguhnya mencerminkan persoalan global dalam pengelolaan subsidi energi. Bank Dunia dalam World Development Report (2020) menegaskan bahwa subsidi BBM di banyak negara berkembang justru cenderung bocor ke kelompok kaya karena mereka lebih banyak mengonsumsi energi dibanding masyarakat miskin. International Energy Agency (IEA) juga mencatat bahwa lebih dari 70 persen subsidi energi di negara berkembang tidak tepat sasaran, menguntungkan kelas menengah-atas dan sektor industri, bukan kelompok rentan.
Pola ini persis terjadi di Aceh. Subsidi solar yang ditujukan untuk nelayan dan sopir justru dinikmati truk-truk industri atau para spekulan yang bermain di jalur distribusi.
Dampaknya bukan hanya ketidakadilan sosial, melainkan juga kerugian ekonomi. Kajian IMF (2022) memperkirakan bahwa subsidi energi yang bocor membuat negara kehilangan ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur dasar.
Di Aceh, subsidi yang semestinya membantu produktivitas nelayan dan petani justru menjadi “ladang rente” bagi segelintir pihak. Situasi ini memperparah ketergantungan masyarakat pada energi murah, tetapi tidak menciptakan daya tahan jangka panjang.
Pemerintah Aceh memang telah mengajukan tambahan kuota 10 ribu kiloliter ke BPH Migas, tetapi menambah kuota saja tidak akan menyelesaikan masalah jika kebocoran terus dibiarkan. Tambahan kuota bisa saja justru memperbesar ruang permainan oknum.
Reformasi tata kelola menjadi kebutuhan mendesak. Digitalisasi distribusi lewat MyPertamina harus dipercepat agar subsidi benar-benar sampai pada yang berhak. SPBU perlu diperkuat dengan stok cadangan strategis sehingga keterlambatan kapal tanker tak otomatis melahirkan krisis. Lebih dari itu, penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu.
Oknum SPBU, pengusaha nakal, hingga aparat yang terlibat dalam praktik “kencing” BBM harus ditindak tegas, bukan sekadar dijadikan kambing hitam sesaat.
Kelangkaan biosolar di Aceh akhirnya memperlihatkan satu hal yaitu rapuhnya tata kelola energi bersubsidi di Indonesia. Selama kuota diputuskan tanpa menyesuaikan kebutuhan riil, distribusi dibiarkan rapuh, kebocoran dilanggengkan oleh permainan oknum, dan isu dijadikan komoditas politik, rakyat kecil akan terus menjadi korban.
Antrean panjang di SPBU akan selalu terulang, dan subsidi yang semestinya menjadi instrumen keadilan hanya akan mengalir ke mereka yang paling tidak membutuhkannya.
Editor: Junaidi Setiaraya
Social Header