Breaking News

Rumah Layak Huni, Ketika Hak Kaum Dhuafa Diperjualbelikan”


Opini oleh : Tgk. Subki Muhammad Bintang

Program rumah layak huni yang digulirkan pemerintah sejatinya adalah sebuah harapan besar bagi rakyat kecil, khususnya kaum dhuafa yang masih tinggal di rumah tak layak. Mereka yang setiap hari berjuang melawan hujan yang merembes dari atap, lantai tanah yang becek kala musim hujan, dinding papan yang lapuk dimakan usia, hingga tiupan angin malam yang menusuk tulang. Harapan mereka sederhana: dapat bernaung di bawah atap rumah yang kokoh dan layak, sebagaimana warga lain yang lebih beruntung.

Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari harapan itu. Banyak yang telah mengajukan permohonan lebih dari tiga tahun, dengan segala syarat dan dokumen yang diminta, namun hingga kini tidak pernah terealisasi. Sebaliknya, justru ada yang baru mengajukan, bahkan belum memenuhi syarat usia atau kategori dhuafa, bisa mendapatkan rumah dengan cepat—asal ada "imbalan" yang diselipkan. Fenomena ini bukan lagi rahasia umum. Masyarakat tahu, hanya sering kali memilih diam karena takut, malu, atau merasa tak berdaya menghadapi permainan para oknum.

Di sinilah nurani kita benar-benar tercabik. Rumah layak huni bukanlah barang dagangan. Ia adalah hak bagi mereka yang paling membutuhkan. Ketika program mulia ini justru dijadikan ladang mencari fulus oleh oknum tertentu, maka yang dikorbankan bukan hanya hak rakyat kecil, melainkan juga nilai kemanusiaan itu sendiri.

Bayangkan seorang janda tua, hidup sebatang kara di gubuk reyot yang nyaris roboh, setiap kali hujan harus mengungsikan dirinya ke rumah tetangga. Ia sudah lama mengajukan permohonan, tetapi namanya tak pernah muncul dalam daftar penerima. Di sisi lain, seorang pemuda yang masih kuat bekerja, bahkan belum menikah, bisa mendapatkan rumah karena keluarganya mampu menyetor sejumlah uang. Apakah ini keadilan? Apakah ini bentuk dari rasa sosial yang kita agung-agungkan?

Lebih menyakitkan lagi, ketika aparat desa, pejabat terkait, hingga oknum pelaksana di lapangan, seakan tutup mata terhadap penderitaan kaum dhuafa. Mereka lebih memilih meraup keuntungan sesaat ketimbang menunaikan amanah yang seharusnya dipikul. Padahal, rumah layak huni bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah simbol keadilan, kepedulian, dan wujud nyata dari negara hadir bagi rakyat kecil. Jika keadilan itu digadaikan demi uang, maka sebenarnya kita sedang mengkhianati nurani bangsa.

Kita harus berani berkata: cukup sudah permainan ini! Jangan lagi penderitaan kaum dhuafa dijadikan ladang bisnis. Jangan lagi bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak orang kecil dijadikan sarana memperkaya diri. Negara hadir untuk melindungi, bukan untuk memperdagangkan hak-hak dasar rakyat.

Opini ini bukan sekadar keluhan, melainkan jeritan hati banyak orang miskin yang suaranya sering tak terdengar. Mereka tidak butuh belas kasihan, mereka hanya menuntut hak. Hak untuk hidup layak, hak untuk memiliki rumah yang aman, hak untuk diperlakukan dengan adil.

Semoga pemerintah benar-benar menutup celah permainan kotor ini. Semoga para pengambil kebijakan lebih peka dan menyalurkan rumah layak huni kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Karena di balik dinding reyot rumah para dhuafa, ada doa-doa yang terus dipanjatkan. Dan doa orang kecil, jangan pernah diremehkan kekuatannya.
Editor/admin : @mpon_bl@ng
© Copyright 2022 - GAJAH PUTIH NEWS.COM