Oleh: Teuku Saifuddin Alba
Aceh, tanah yang pernah harum dengan darah syuhada dan perjuangan, kini kembali diuji dengan kenyataan pahit. Program rumah dhuafa yang seharusnya menjadi benteng perlindungan bagi fakir miskin, justru tercederai oleh ulah segelintir tangan kotor. Fakta di lapangan menunjukkan, rumah yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa bisa berpindah tangan begitu saja, asal ada uang pelicin yang mengalir.
Apakah ini wajah Aceh hari ini? Negeri yang dulu dijunjung dengan nilai keadilan dan solidaritas, kini tersungkur oleh praktik curang yang menyayat hati rakyat kecil. Fakir miskin yang seharusnya tersenyum menerima rumah layak huni, justru tertunduk kecewa, menyaksikan harapan mereka dijual murah oleh mereka yang rakus.
Lebih memilukan lagi, di saat kaum dhuafa harus menunggu dan berjuang untuk sekadar memiliki atap tempat berteduh, Partai Politik justru menerima kucuran dana hibah. Milyaran rupiah digelontorkan tanpa henti, sementara tangis rakyat miskin seakan tidak terdengar.
Pertanyaannya, dimanakah hati nurani para pemimpin Aceh? Apakah kursi kekuasaan telah membutakan mata? Apakah sumpah jabatan hanya sekadar formalitas belaka tanpa makna kemanusiaan?
Aceh tidak pernah kekurangan pemimpin, tapi Aceh kekurangan sosok yang benar-benar memimpin dengan hati. Pemimpin yang meneteskan air mata ketika melihat rakyatnya menderita, bukan pemimpin yang tersenyum saat menandatangani pencairan dana untuk kepentingan politik.
Rakyat tidak butuh janji manis yang terus diulang setiap lima tahun sekali. Rakyat hanya ingin hak mereka dijaga, agar program rumah dhuafa benar-benar sampai ke tangan yang layak, tanpa harus tergadaikan oleh suap dan uang pelicin.
Hari ini, sejarah mencatat dengan tinta kelam: ketika kaum dhuafa terabaikan, dan partai politik dimuliakan. Bila keadaan ini terus dibiarkan, jangan salahkan jika kelak rakyat kehilangan kepercayaan, bukan hanya kepada pemimpin, tapi juga kepada keadilan itu sendiri.
Aceh sedang menangis. Tangisan yang mungkin tak terdengar di ruang ber-AC para pejabat, tapi nyata mengalir di gubuk-gubuk reyot, di mana rakyat kecil menatap langit bocor di malam hujan.
Maka sekali lagi, izinkan saya bertanya dengan suara yang lirih namun menyayat hati: “Di manakah nurani pemimpin Aceh hari ini?”
Kepada seluruh rakyat Aceh, janganlah kita diam. Mari bersama-sama membuka mata, menjaga amanah, dan mengawasi setiap program yang katanya untuk rakyat. Karena bila kita hanya menunggu belas kasih dari pemimpin yang kehilangan nurani, maka penderitaan kaum dhuafa akan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Social Header