Breaking News

Ini Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Para Keuchik di Aceh Tetap Berlaku Masa 6 Tahun

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) 

Redaksi | Jumat, 15 Agustus 2025
Gajahputihnews.com 

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi Pasal 115 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang diajukan oleh lima orang keuchik dari Aceh.

Dengan demikian, masa jabatan keuchik di Aceh tetap enam tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa pengaturan masa jabatan keuchik merupakan bagian dari kekhususan Aceh yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh.

Oleh karena itu, perubahan masa jabatan dari enam menjadi delapan tahun bukanlah kewenangan MK sebagai negative legislator, melainkan menjadi domain pembentuk undang-undang.

“Ketentuan Pasal 115 ayat (3) tidak bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum, perlindungan hukum yang adil, maupun asas non-diskriminasi,” tegas MK dalam amar putusannya.

Dissenting Opinion

Meski demikian, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Arsul Sani

Ia menyatakan bahwa masa jabatan keuchik sebaiknya disesuaikan menjadi delapan tahun agar selaras dengan pengaturan kepala desa di daerah lain di Indonesia.

Perlu Perlindungan dan Kepastian Hukum

MK juga mengingatkan bahwa setiap perubahan terhadap UU Pemerintahan Aceh harus mempertimbangkan perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi seluruh pihak, termasuk sekitar 1.911 keuchik di Aceh yang masa jabatannya akan berakhir pada Desember 2025.

Revisi terhadap UU tersebut, menurut MK, diharapkan dapat mempertimbangkan perkembangan sosial masyarakat Aceh serta tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Latar Belakang Permohonan Uji Materi

Permohonan uji materi ini diajukan oleh lima keuchik dari Aceh yang menilai bahwa ketentuan masa jabatan enam tahun dalam Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh tidak sejalan dengan perubahan terbaru pada Undang-Undang Desa, yang telah mengubah masa jabatan kepala desa dari enam menjadi delapan tahun.

Para pemohon berargumen bahwa adanya perbedaan masa jabatan ini menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap keuchik di Aceh sebagai perangkat pemerintahan desa yang memiliki fungsi serupa dengan kepala desa di daerah lain.

Namun MK menilai, meskipun ada kesamaan fungsi dan struktur, Aceh memiliki kekhususan dalam pengaturan pemerintahan yang diatur secara khusus melalui UU Nomor 11 Tahun 2006. Karena itu, tidak semua perubahan dalam UU Desa secara otomatis berlaku di Aceh.

Implikasi Putusan bagi Pemerintahan Gampong

Putusan ini secara langsung berdampak pada sekitar 1.911 keuchik aktif di seluruh Aceh, yang masa jabatannya akan berakhir pada Desember 2025. Dengan tetap berlakunya masa jabatan enam tahun, tidak ada perubahan dalam periode pemilihan ulang atau perpanjangan jabatan keuchik yang sedang menjabat saat ini.

Meski demikian, banyak pihak di tingkat lokal mendorong agar Pemerintah dan DPR RI melakukan revisi terhadap UU Pemerintahan Aceh, guna menyelaraskan pengaturan keuchik dengan peraturan nasional, sekaligus memberikan kepastian hukum yang konsisten di tingkat desa/gampong.

Penutup: Harapan Akan Revisi UU

Dalam catatan akhir, Mahkamah Konstitusi menekankan pentingnya pembentukan undang-undang yang responsif terhadap dinamika sosial masyarakat. Revisi terhadap UU Pemerintahan Aceh tetap dimungkinkan ke depan melalui proses legislasi di DPR RI dan Pemerintah, selama tidak bertentangan dengan prinsip konstitusional.

Putusan MK ini sekaligus mempertegas posisi Mahkamah sebagai penjaga konstitusi, bukan pembentuk norma baru, dan menegaskan bahwa upaya perubahan masa jabatan adalah tanggung jawab pembentuk undang-undang. (jnd.uk) 

© Copyright 2022 - GAJAH PUTIH NEWS.COM