Breaking News

Estafet di Mihrab Baiturrahman: Saat Abu Paya Pasi Menggenggam Tongkat Dakwah

"Umat menantikan estafet di Mihrab Baiturrahman: Saat Abu Paya Pasi Menggenggam Tongkat Dakwah dalam kesejukan dan kedamaian”

Oleh: Junaidi Yusuf
Ketua Laskar Aswaja Aceh
Periode Tahun, 2020-2025
Gajahputihnews.com – Di hari ke-19 bulan Shafar 1447 H, Banda Aceh menjadi saksi dari sebuah momen bersejarah yang tidak hanya berbicara tentang pergantian kepemimpinan spiritual, tapi juga tentang estafet nilai, hikmah, dan keberlanjutan tradisi keulamaan Aceh. Abu Paya Pasi, ulama kharismatik yang penuh kesahajaan, resmi menggantikan Prof Azman Ismail sebagai Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman.

Upacara lepas sambut yang digelar Rabu, 13 Agustus 2025, shalat ashar berjama'ah bersama serta dilanjutkan dengan susunan agenda acara dan ini menjadi titik temu antara generasi dan harapan. Ini bukan sekadar serah terima jabatan, melainkan peralihan tongkat estafet dari dua sosok yang mewakili dua warna keulamaan: satu akademik, satu tradisional dan keduanya sama-sama bermakna dalam denyut nadi keislaman Aceh.

Abu Paya Pasi: Ulama yang Merakyat

Sosok Abu Paya Pasi tidak asing di tengah masyarakat Aceh. Wajahnya bersahaja, langkahnya tenang, dan lisannya menyejukkan. Ia bukan ulama yang menyendiri, melainkan selalu hadir bersama umat. Dalam setiap kunjungannya ke pelosok-pelosok Aceh, kata-katanya menjadi petuah, kehadirannya jadi berkah.

Ia bukan hanya dihormati karena ilmunya, tapi karena tawadhu’ yang tak dibuat-buat. Ia bukan tokoh yang sulit dijumpai, justru masyarakat sering merasa tak cukup waktu untuk menyerap hikmah darinya. Dalam kesederhanaannya, terkandung magnet yang menautkan hati banyak orang.

Prof Azman: Dua Dekade dalam Diam dan Karya

Sementara itu, Prof Azman Ismail telah mengabdi sebagai Imam Besar selama lebih dari 22 tahun – sejak 2003. Ia adalah ulama yang lahir dari rahim akademik, namun tetap membumi dalam keseharian umat. Ketika tsunami 2004 melanda, ia tidak hanya menyuarakan doa dari mimbar, tetapi juga turun langsung menjadi bagian dari gerakan kemanusiaan. Masjid Raya bukan hanya menjadi tempat khutbahnya, tetapi juga rumah perjuangan bersama masyarakat.

Prof Azman dikenal tenang, sedikit bicara, dan penuh makna. Senyumnya adalah bahasa komunikasi yang menyentuh, dan kehadirannya menjadi penguat batin bagi banyak orang.

Kini, ia menyerahkan tongkat estafet itu dengan penuh legawa. Tidak ada dualisme, tidak ada ego, hanya kesinambungan dalam tautan keilmuan dan dakwah. 

Baiturrahman: Masjid, Sejarah, dan Simbol

Masjid Raya Baiturrahman sendiri bukan sekadar bangunan megah. Ia adalah saksi bisu sejarah Aceh. Pernah terbakar, lalu dibangun kembali. Pernah diterpa tsunami, tapi tetap berdiri kokoh. Bahkan pernah menjadi medan perjuangan, ketika di bawah pohon dalam kompleksnya, seorang pahlawan mengeksekusi Kohler, pimpinan agresi Belanda. Pohonnya mungkin telah ditebang, namun semangatnya masih tumbuh. Masjid ini adalah jantung Aceh. Dan Imam Besarnya adalah nadinya.

Mualem, Politik, dan Ulama

Keputusan Gubernur Aceh, Mualem, menunjuk Abu Paya Pasi sebagai Imam Besar tidak menimbulkan polemik. Justru masyarakat menyambutnya dengan penuh penerimaan. Tidak muncul pertanyaan, "Mengapa bukan yang lain?" atau "Mengapa tidak lanjutkan Prof Azman?". Ini pertanda bahwa Allah telah menanamkan ketenangan dalam benak masyarakat yang bersih.

Mualem bukan sarjana agama, bukan pula qari internasional. Ia adalah pemimpin yang paham keterbatasannya. Maka ia mendekat pada ulama. Karena seorang pemimpin yang sadar dirinya bukan ahli agama, justru akan mencari tempat berteduh dalam bimbingan para pewaris nabi.

Imam Besar: Tiang Utama, Bukan Menara

Imam besar bukanlah menara tinggi yang menjulang sendiri, tetapi tiang utama yang menyangga seluruh bangunan. Ia harus kuat, lurus, dan menyatu dengan pondasi. Imam besar menyerap aspirasi jamaah, merangkul yang muda dan tua, laki-laki dan perempuan, elite dan rakyat biasa. Ia tidak hanya memimpin shalat, tapi juga memimpin hati.

Prof Azman telah menjalankan peran itu dengan baik. Sekarang, giliran Abu Paya Pasi untuk terus melanjutkan dengan metode keilmuannya dan dengan cara-cara yang bijak. Tiada lain dengan sentuhan khas seorang ulama dayah.

Masjid: Rumah Tanpa Sekat

Masjid bukanlah tempat eksklusif. Ia tidak memiliki kamar-kamar khusus. Semua orang setara di dalamnya. Yang membedakan hanyalah ketakwaan. Imam besar pun bukan penguasa, tapi pelayan. Dalam satu shaf, semua menghadap arah yang sama: Allah SWT. 

Di masa lalu, kita pernah melihat masjid menjadi tempat perpecahan karena perbedaan organisasi, kitab, atau pemahaman. Ini pelajaran berharga. Tidak boleh terulang lagi. Masjid harus menjadi pemersatu, bukan pemecah. Hal yang sama juga dikatakan oleh sahabat saya H. Isnaini Husda, SE pada suatu kesempatan kami bersama mengikuti malam silahturahmi Badan Kemakmuran Mesjid Gampong Lamteh (BKM) pada malam senin kemarin

Dua Ulama, Satu Jalan

Antara Prof Azman dan Abu Paya Pasi, tidak ada yang lebih utama. Mereka sama-sama ulama, sama-sama berilmu, sama-sama berada di hati masyarakat. Perbedaan mereka hanya soal metode, pendekatan, dan gaya. Tapi tujuan mereka sama: mengabdi kepada umat dan mengangkat kalimat Allah.

Pergantian ini adalah peristiwa besar karena terjadi di masjid besar, melibatkan tokoh besar, dan membawa harapan besar serta dihadiri oleh orang-orang yang ingin mendekati diri dengan ulama. 

Dari Mihrab ke Mimbar Persatuan

Di tengah peringatan 19 tahun damai Aceh dan Hari Kemerdekaan RI yang ke-80, momentum ini menjadi simbol kebangkitan spiritual masyarakat Aceh. Kita berharap kedua tokoh umat ini, Abu Paya Pasi dan Prof Azman tetap saling menguatkan. Karena Aceh butuh keduanya, untuk membimbing umat melewati tantangan zaman yang semakin kompleks.

Mari jadikan mihrab sebagai titik awal, dan mimbar sebagai ruang suara kebaikan. Semoga dengan bersatunya para ulama dan umara, Allah menurunkan keberkahan dan menjadikan Aceh tetap kuat dalam iman, damai dalam perbedaan, dan kokoh dalam persatuan.

Wallahu a’lam.

© Copyright 2022 - GAJAH PUTIH NEWS.COM