Opini oleh: Teuku Saifuddin Alba
Pemerhati Sosial, Kabupaten Aceh Utara
Aceh Utara,gajahputihnews.com
Masa jabatan seorang Kepala Desa (Geuchik) dalam sistem pemerintahan desa di Indonesia, termasuk di Aceh, telah diatur maksimal selama 6 tahun dalam satu periode. Bila dijalankan dengan niat yang baik, komitmen pengabdian, dan rasa tanggung jawab, maka waktu enam tahun bukanlah sebatas angka , ia adalah peluang besar untuk meninggalkan jejak pembangunan yang berarti di gampong.
Namun sayangnya, fakta di lapangan jauh dari harapan. Di berbagai pelosok Aceh, termasuk di Kabupaten Aceh Utara yang saya amati langsung, masih banyak ditemukan oknum Geuchik yang tidak becus memimpin gampong. Jabatan yang seharusnya menjadi sarana untuk melayani rakyat, justru dijadikan alat untuk memperkaya diri, memperkuat kelompok tertentu, bahkan menutup ruang partisipasi masyarakat.
Geuchik Bukan Raja, Tapi Pelayan Rakyat
Kita tidak boleh lupa bahwa Geuchik adalah pemimpin di tingkat paling dasar dari sistem pemerintahan. Di tangan Geuchik-lah wajah negara dilihat pertama kali oleh rakyat kecil. Namun, banyak Geuchik saat ini bersikap seolah-olah mereka adalah "raja kecil" di gampong masing-masing. Mereka lupa bahwa mereka diangkat oleh rakyat, dan untuk rakyatlah mereka harus bekerja.
Ada yang lebih sibuk menghitung anggaran daripada menjawab keluhan warga. Ada pula yang memprioritaskan pembangunan fisik, tapi melupakan pembangunan manusia. Ada yang menyusun proposal ke dinas sana-sini, tapi lupa memperbaiki drainase yang menyebabkan banjir tahunan di dusun mereka. Padahal, semua ini bisa dibenahi jika mereka benar-benar menggunakan enam tahun masa jabatan itu untuk menata gampong, bukan untuk menata kekuasaan.
Enam Tahun,Waktu Emas atau Musibah?
Saya tegaskan, enam tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk membuat perubahan nyata. Jika seorang Geuchik tidak mampu memperlihatkan hasil kerja selama masa jabatan tersebut, maka bisa dipastikan bukan sistemnya yang salah, tapi kualitas kepemimpinannya yang bermasalah.
Banyak geuchik hanya bergerak aktif di tahun pertama dan terakhir jabatan, sementara tahun-tahun di antaranya hanya menjadi rutinitas kosong. Bahkan yang lebih menyedihkan, ada Geuchik yang tidak mengetahui dasar-dasar perencanaan pembangunan desa, tidak mampu memimpin musyawarah dengan baik, dan minim komunikasi dengan warganya sendiri.
Jika seperti itu kenyataannya, apa gunanya 6 tahun jabatan? Bahkan 60 tahun pun takkan cukup jika pola pikir dan niatnya sudah menyimpang sejak awal.
Perlu Evaluasi dan Pengawasan yang Kuat
Untuk itu, saya menyarankan agar pemerintah daerah melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) melakukan evaluasi tahunan terhadap kinerja para Geuchik. Evaluasi ini bukan sekadar formalitas, tapi harus objektif, melibatkan tokoh masyarakat, pemuda, dan lembaga independen. Kita tidak boleh membiarkan gampong dikuasai oleh Geuchik yang bekerja asal-asalan.
Selain itu, peran Badan Permusyawaratan Gampong (BPG) juga perlu diperkuat. BPG harus menjadi mitra yang kritis, bukan hanya stempel kebijakan Geuchik. Kalau Geuchik bekerja tidak benar, maka BPG-lah yang pertama harus berani menyuarakan.
Pemilih Juga Harus Cerdas
Tak bisa dipungkiri, kesalahan juga terkadang bermula dari masyarakat sendiri. Banyak warga memilih Geuchik bukan berdasarkan kemampuan, tapi karena hubungan keluarga, kedekatan kelompok, atau bahkan karena “serangan fajar.” Akibatnya, gampong dipimpin oleh orang yang tak paham administrasi, tak punya visi, bahkan tak tahu cara menyusun RPJMDes.
Oleh karena itu, masyarakat juga harus lebih cerdas dalam memilih pemimpin. Jangan ulangi kesalahan dengan memilih pemimpin yang hanya pandai berjanji di masa kampanye, tapi tak bisa menunjukkan kerja nyata setelah duduk di kursi kekuasaan.
Penutup: Enam Tahun yang Harus Dipertanggungjawabkan
Masa jabatan Geuchik adalah enam tahun penuh tanggung jawab. Dalam rentang waktu itu, seorang pemimpin gampong seharusnya mampu menggerakkan pembangunan, menyelesaikan persoalan rakyat kecil, memperkuat ekonomi desa, dan menjaga keharmonisan masyarakat. Jika tidak bisa melakukan itu semua, maka lebih baik tidak maju lagi di periode berikutnya.
Saya, Teuku Saifuddin Alba, selaku Pemerhati Sosial di Kabupaten Aceh Utara, mengajak semua pihak — mulai dari masyarakat, tokoh adat, lembaga sosial, hingga pemerintah — untuk bersama-sama mengawasi dan menuntut akuntabilitas para Geuchik. Jangan biarkan masa depan gampong ditentukan oleh segelintir orang yang tak memahami arti pengabdian.
Karena sejatinya, pemimpin yang baik adalah mereka yang bekerja walau tak dilihat, dan tetap jujur walau tak diawasi.
Editor/admin : @mpon_bl@ng
Social Header