Gajahputihnews.com
Oleh Tim Investigasi
Aceh Timur — Suara gemuruh mesin pabrik PKS Bugak Palma Sejahtera tak mampu menutupi jeritan rakyat yang kian tenggelam dalam luka-luka gatal dan air sungai yang tercemar. Di desa Jamboe Balle, Kecamatan Alue Ie Mirah, derita akibat dugaan pencemaran limbah pabrik ini sudah berlangsung lima tahun. Namun, sejauh ini, keadilan masih terasa asing.
Tiga kolam limbah yang tersembunyi di balik tanggul setinggi dua meter dan pagar beton itu menyimpan air hitam legam. Tak berbau harum, tapi penuh misteri: benarkah limbah ini steril seperti klaim perusahaan? Atau sebaliknya, menjadi sumber malapetaka bagi warga Jamboe Lubok, Alue Ie Mirah, hingga Jamboe Balle?
Suryadi, warga setempat, mengisahkan luka-luka gatal dan pembengkakan di wajah beberapa warga yang diyakini akibat paparan air limbah. "Kami sering gatal setelah mandi di sungai, apalagi usai hujan deras. Limbah dari kolam itu dibuang langsung ke alur sungai," katanya.
Perpaduan Konflik, Geografi, dan Human Interest
Kondisi geografis desa yang dilewati aliran sungai menjadikan seluruh komunitas di hilir menjadi korban potensial. Apalagi, masyarakat mengaku tidak pernah diberi tahu hasil uji laboratorium atas air limbah tersebut. Bahkan ada warga, Muhammad, yang sempat muntah-muntah usai mencoba air sungai.
"Ikan-ikan di sungai pun banyak yang mati," keluh seorang warga. Kini, warga tak lagi bisa menggunakan sungai sebagai sumber MCK. Sungai yang dulu jadi sumber kehidupan, kini seperti racun yang mengendap di sela-sela kehidupan mereka.
Syahrial, Humas PKS Bugak Palma Sejahtera, membantah semua tudingan. "Itu hanya isu, kami tidak pernah membuang limbah. Kolam limbah tidak pernah penuh, pipa pembuangan pun lebih tinggi dari kolam," tegasnya.
Ia juga mengklaim bahwa kualitas air limbah di kolam lebih baik dari air sungai, meski ketika diminta hasil uji laboratorium, ia tak bisa menunjukkannya. "Sudah kami serahkan ke DLHK, tapi bukan untuk publik," elaknya.
Lebih lanjut, ia mengaku perusahaan telah menambah jumlah kolam limbah menjadi 13 unit sebagai bagian dari pembinaan dari DLHK pada 2022. Namun, pengakuan ini sekaligus membuka fakta bahwa pernah ada sanksi dari pemerintah.
Kolam Tanah, Izin Lingkungan, dan Ketertutupan Data
Meski mengakui bahwa kolam limbah berbahan tanah, Syahrial justru menyalahkan banyak PKS lain. "Kalau kolam tanah itu salah, berarti semua PKS di Aceh salah," ujarnya.
Ironisnya, pihak perusahaan sendiri tidak tahu banyak soal izin IPAL dan AMDAL. "Itu bukan bidang saya," ujarnya ringan, ketika ditanya detail dokumen lingkungan.
Kepala Desa yang Bungkam
Kekecewaan warga kian bertambah karena geuchik dan sekdes dianggap tidak membela masyarakat. "Geuchik Mustawaii tidak pernah mau ikut menyuarakan. Padahal kami sudah menderita bertahun-tahun," ujar warga.
Mustawaii berdalih bahwa wilayahnya tidak terdampak langsung. "Tapi saya tetap berdiri dengan masyarakat jika memang ada pencemaran," katanya.
Kekosongan CSR dan 'Uang Pemuda' 2 Juta
PKS Bugak Palma Sejahtera juga tak pernah menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang layak. Menurut warga, hanya ada uang dua juta rupiah setahun untuk pemuda, dan bantuan proposal tidak seberapa. "Kami seperti anak ayam kehilangan induk," kata warga dengan suara lirih.
Akhir Kata: Suara dari Pedalaman
Dari kolam limbah hingga air sungai yang mematikan, dari warga yang gatal hingga suara masyarakat yang diabaikan, cerita ini bukan sekadar soal pabrik, tapi soal keberpihakan. Siapa yang didengar? Siapa yang dibela?
Di tengah sunyinya penegakan hukum lingkungan dan lemahnya pengawasan izin, warga sangat menaruh pena wartawan menjadi satu-satunya harapan. Karena dalam negara yang mengabaikan air bersih warganya, setiap tetes tinta adalah tamparan untuk kekuasaan yang tuli.
*By Redaksi*
Social Header