![]() |
Reformasi Parpol dan Polri: Obor Harapan atau Bara yang Membakar Redaksi| Sabtu, 4 Oktober 2025 Oleh : Madi Saputra Gajahputihnews.com |
Bayangkan seorang petani tua di lereng Gunung Merapi. Setiap pagi ia bangun denganmu harapan sederhana: tanahnya tetap subur, anak-anaknya tetap sekolah, dan negara hadir sebagai pelindung bukan beban. Ia masih mengingat cerita ayahnya tentang Proklamasi 1945 janji bahwa republik ini akan dibangun atas dasar kedaulatan rakyat, bukan kekuasaan partai atau elit.
Namun di usia senjanya, ia justru menyaksikan paradoks: negeri kaya sumber daya minyak, emas, gas namun rakyatnya tetap kekurangan. Polisi yang seharusnya melindungi justru menjadi alat kekuasaan. Inilah deformasi kehidupan berbangsa yang tidak hanya dirasakan oleh satu orang, tetapi menjadi kenyataan kolektif. Di tengah kabut ini, kini muncul secercah harapan: agenda reformasi partai politik dan Polri yang digenggam Presiden Prabowo Subianto.
Apakah ini akan menjadi obor yang menerangi masa depan, atau justru bara yang membakar sisa-sisa idealisme Proklamasi?
Deformasi Konstitusi dan Monopoli Partai Politik
Deformasi ini berakar dari amandemen UUD 1945 pada tahun 2002, yang dilakukan secara terburu-buru dalam euforia reformasi. MPR, yang sebelumnya lembaga tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat, digantikan oleh partai politik yang kini memonopoli pencalonan presiden dan wakil presiden.
Dampaknya, presiden tak lagi menjadi mandataris MPR yang menjalankan GBHN, melainkan hanya “petugas partai” yang tunduk pada kepentingan oligarki. Politik yang seharusnya menjadi public goods, layaknya udara yang dapat dihirup bersama, telah berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh para bandar partai.
Pemikir Ivan Illich pernah mengusulkan deschooling membebaskan pendidikan dari monopoli sekolah. Gagasan ini dapat diadaptasi dalam konteks Indonesia melalui deparpolitisasi, yakni membebaskan politik dari cengkeraman partai politik permanen. Seharusnya, setiap organisasi—bahkan perorangan—memiliki hak untuk mencalonkan diri dalam jabatan publik. Partai cukup berperan sebagai panitia ad hoc yang bubar setelah tugas selesai.
Sejarah menunjukkan bahwa tiap era melahirkan “monster politik”: Orde Lama dengan PKI, Orde Baru dengan Golkar, dan reformasi dengan PDIP. Tanpa reformasi serius, partai seperti Gerindra atau PSI bisa menjadi monster berikutnya. Seperti kata Noam Chomsky, partai politik bisa lebih berbahaya dari teroris karena mereka menguasai narasi dari dalam sistem.
Pilpres Langsung: Sistem Gagal yang Dirancang Gagal
Pemilihan langsung yang dimulai pada 2004 sering dipuja sebagai pencapaian demokrasi. Namun kenyataannya, sistem ini adalah failed by design. Dengan lebih dari 160 juta pemilih tersebar di 800 ribu TPS, ditambah mayoritas rakyat yang berpendidikan rendah, pilpres langsung lebih menyerupai “asal pilih massal” daripada seleksi pemimpin berkualitas.
Biaya yang dihabiskan mencapai triliunan rupiah, menjadikannya salah satu sistem pemilu termahal di dunia. Tetapi hasilnya? Presiden yang terpilih kerap hanya mewakili mesin partai dan para bandar politik. Kasus Gibran sebagai cawapres 2024 lewat putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi menjadi bukti rapuhnya sistem yang berlaku.
Polri: Dari Pelindung Demokrasi Menjadi Alat Rezim
Sementara partai menguasai politik, kepolisian justru menjadi alat kekuasaan. Selama satu dekade era Jokowi, Polri diperkuat bukan untuk rakyat, melainkan menjaga kepentingan oligarki. Anggaran membengkak, tapi penyalahgunaan kekuasaan tetap merajalela: pemerasan, tekanan terhadap oposisi, hingga kriminalisasi aktivis.
Fenomena ini disebut sebagai regime policing di mana kesetiaan polisi lebih tertuju kepada presiden dan elite ekonomi daripada kepada rakyat. Kini, Polri tak lagi terasa seperti saudara sebangsa, tetapi institusi yang asing dan menakutkan.
Dua Tangan Reformasi Prabowo: Komite dan Tim Transformasi Polri
Presiden Prabowo pada September 2025 meluncurkan dua inisiatif paralel untuk reformasi Polri:
Komite Reformasi Polri
Bersifat ad hoc, beranggotakan tokoh eksternal seperti Mahfud MD dan Ahmad Dofiri. Fokus pada reformasi struktural, meritokrasi, pengawasan independen, serta pemulihan fungsi Polri sebagai pelindung rakyat.
Tim Transformasi Reformasi Polri
Dipimpin Komjen Chryshnanda, tim internal ini bertugas mengevaluasi data dan memperbaiki kinerja operasional kepolisian.
Kedua tim ini diharapkan saling melengkapi: komite memberi legitimasi publik, sementara tim internal memberikan efektivitas eksekusi. Meski masih ada kritik—terutama soal kecepatan pelaksanaan dan kekhawatiran reformasi hanya menjadi simbolik—langkah ini adalah awal kembalinya Polri ke fitrah sejatinya.
Restorasi Konstitusi: Jalan Pulang Menuju Kedaulatan Rakyat
Reformasi partai politik dan Polri tidak akan tuntas jika akar persoalan dibiarkan: amandemen UUD 10/8/2002 yang telah mencabut kedaulatan rakyat dan merusak keseimbangan kekuasaan.
Solusi mendasarnya adalah kembali ke UUD 18/8/1945. Kembalikan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Jadikan presiden sebagai mandataris GBHN. Buka ruang politik untuk semua warga, bukan hanya untuk partai. Dan posisikan kembali Polri sebagai pengayom rakyat, bukan alat penguasa.
Tanpa restorasi konstitusi, reformasi hanya akan menjadi kosmetik demokrasi—indah di permukaan, rapuh di dalam.
Obor Reformasi di Tangan Kita Semua
Sore itu, petani Merapi kembali duduk di teras rumahnya, menatap langit senja. Ia sadar bahwa perubahan sejati tidak hanya datang dari istana, tetapi juga dari rakyat yang menjaga nyala obor reformasi.
Jika Presiden Prabowo benar-benar memulai reformasi dari rumahnya sendiri—dengan membenahi Gerindra dan mengembalikan Polri ke pangkuan rakyat—maka cita-cita Proklamasi bisa kembali hidup. Politik akan mengalir seperti darah dalam nadi rakyat. Polisi akan kembali menjadi saudara, bukan algojo.
Namun jika tidak, maka paradoks negeri ini akan terus abadi: kaya sumber daya, tapi rakyat miskin martabat.
Maka, mari kita jaga bersama obor reformasi ini. Jangan biarkan ia padam. Biarlah ia menyala, menyentuh hati setiap anak bangsa yang mendamba keadilan.
Daftar Pustaka
- Bivitri Susanti. System Failure: Amandemen UUD 1945 dan Krisis Demokrasi. Jakarta: PSHK, 2022.
- Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
- East Asia Forum. “Indonesia’s Police and the Politics of Regime Security,” 2020.
- Hasyim Asy’ari (Ketua KPU). Pernyataan tentang Kompleksitas Pemilu Indonesia, 2024.
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 tentang Usia Capres/Cawapres.
- Noam Chomsky. Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy. New York: Metropolitan Books, 2006.
- Ivan Illich. Deschooling Society. New York: Harper & Row, 1971.
Editor: Junaidi Setiaraya
Social Header