Kasus Pemukulan Wabup Pidie Jaya: Mendorong Penyelesaian Melalui Restorative Justice
Peristiwa tersebut terjadi pada Kamis pagi, 30 Oktober 2025, dan langsung menuai beragam tanggapan di masyarakat.
Terlepas dari polemik yang terjadi, peristiwa ini membuka ruang refleksi tentang pentingnya menjalankan fungsi pelayanan publik dengan kepala dingin dan profesional.
Sebagai pejabat daerah, Hasan Basri sejatinya memiliki tanggung jawab untuk melayani masyarakat. Namun, unsur emosional yang muncul secara spontan kerap menjadi kelemahan manusiawi yang tak jarang berujung pada tindakan di luar kendali.
Konsep Restorative Justice (keadilan restoratif) dapat menjadi salah satu jalan penyelesaian terbaik dalam kasus seperti ini. Restorative justice menekankan pemulihan hubungan sosial antara pelaku dan korban, bukan semata-mata fokus pada pemidanaan.
Pendekatan ini mengutamakan dialog, perdamaian, dan kesepakatan bersama antara kedua pihak yang terlibat dalam hal ini Hasan Basri dan Muhammad Reza dengan melibatkan keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta pihak SPPG sebagai wadah tempat korban bekerja.
- Memulihkan kerugian korban,
- Memperbaiki hubungan sosial yang rusak, dan
- Mendorong pelaku untuk memperbaiki diri melalui kesepakatan damai yang adil dan manusiawi.
Landasan Hukum Restorative Justice:
Penerapan restorative justice di Indonesia telah diatur secara resmi melalui:
- Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2024, dan
- Peraturan Kejaksaan (Perja) No. 15 Tahun 2020.
- Kedua peraturan tersebut memberikan ruang bagi penyelesaian perkara secara damai dengan beberapa syarat, antara lain:
- Ancaman hukuman di bawah lima tahun penjara,
- Pelaku belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya, dan
- Tindak pidana tidak berkaitan dengan kejahatan HAM, korupsi, atau kejahatan negara.
Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, Aparat penegak hukum - kepolisian dan juga seperti kejaksaan dapat menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif.
Ajakan untuk Perdamaian dan Pemulihan Sosial
Penulis mengajak kedua pihak, Hasan Basri dan Muhammad Reza, untuk menempuh jalur penyelesaian damai melalui restorative justice.
Langkah ini dapat dimulai dengan itikad baik dari Hasan Basri, serta didukung oleh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama di Pidie Jaya.
Melalui pendekatan ini, diharapkan tercapai kesepakatan perdamaian tanpa syarat, yang tidak hanya mengakhiri konflik hukum, tetapi juga memulihkan kembali hubungan sosial antara pelaku dan korban.
Kasus ini menjadi pembelajaran bahwa setiap manusia dapat melakukan kesalahan, namun kebesaran jiwa untuk memperbaiki dan memaafkan adalah bentuk keadilan tertinggi bagi masyarakat yang menjunjung nilai kemanusiaan dan kearifan lokal.

Social Header