Aceh Utara,gajahputihnews.com – Ketua Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IPSM) Kabupaten Aceh Utara, Mukhtaruddin, S.Pd, secara tegas menyampaikan keprihatinan dan kekecewaannya terhadap keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia yang menyerahkan empat pulau di wilayah Kabupaten Aceh Singkil ke Provinsi Sumatera Utara. Keputusan tersebut dinilai melukai rasa keadilan masyarakat Aceh dan mencederai semangat otonomi khusus (otsus) yang selama ini menjadi dasar hubungan Aceh dengan pemerintah pusat.
“Penyerahan empat pulau ini adalah tamparan keras bagi martabat dan harga diri rakyat Aceh. Ini bukan hanya soal batas wilayah, tetapi soal kedaulatan, sejarah, dan hak rakyat atas tanahnya sendiri,” tegas Mukhtaruddin kepada awak media, Minggu (15/6/2025).
Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Pulau-pulau tersebut selama ini masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil, namun kini dikabarkan telah ‘diserahkan’ secara administratif ke Provinsi Sumut berdasarkan kebijakan Mendagri Tito Karnavian.
Mukhtaruddin mempertanyakan dasar dan proses pengambilan keputusan tersebut, yang menurutnya terkesan tertutup dan tanpa pelibatan publik Aceh secara menyeluruh, khususnya masyarakat adat dan pemerintahan daerah di Aceh Singkil.
“Apakah sudah dilakukan kajian historis dan hukum yang melibatkan lembaga adat, akademisi Aceh, dan pemerintah daerah? Atau ini hanya keputusan sepihak tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat Aceh?” ujarnya dengan nada prihatin.
Sebagai Ketua IPSM Aceh Utara, Mukhtaruddin menilai, keputusan itu bukan hanya akan menimbulkan kegaduhan politik dan sosial, tetapi juga bisa berpotensi menjadi pemantik ketegangan antar wilayah. Ia mengingatkan pemerintah pusat untuk tidak semena-mena dalam mengambil keputusan yang menyangkut wilayah adat dan batas administrasi daerah, apalagi di Aceh yang memiliki kekhususan secara hukum dan sejarah perjuangan.
Mendesak Pemerintah Aceh Bertindak Tegas
Mukhtaruddin juga mendesak Pemerintah Aceh, khususnya Gubernur Aceh, agar tidak diam dan segera mengambil langkah hukum dan diplomatik untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Ia juga meminta DPRA, tokoh adat, dan elemen masyarakat sipil agar bersatu memperjuangkan hak wilayah Aceh yang sah secara historis dan administratif.
“Ini bukan hanya soal Aceh Singkil, tapi menyangkut martabat seluruh rakyat Aceh. Kita harus satu suara melawan ketidakadilan ini,” tegasnya lagi.
Ia menyarankan agar Pemerintah Aceh membentuk tim investigasi dan advokasi khusus yang melibatkan tokoh hukum tata negara, pakar sejarah Aceh, dan lembaga adat, guna menelusuri sejarah kepemilikan pulau-pulau tersebut dan mempersiapkan langkah hukum yang tepat ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung, bila perlu.
Menolak Politik Devide et Impera
Lebih lanjut, Mukhtaruddin menilai, ada indikasi permainan politik yang ingin memecah belah Aceh dengan isu perbatasan. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak terprovokasi, namun tetap waspada dan kritis.
“Kita tidak ingin Aceh terjebak dalam politik devide et impera. Tapi kita juga tidak boleh diam. Kita harus cerdas dan solid dalam membela kedaulatan wilayah kita,” tandasnya.
Sebagai penutup, ia mengajak seluruh elemen masyarakat, baik tokoh ulama, pemuda, mahasiswa, LSM, maupun lembaga sosial masyarakat lainnya, untuk bersatu menyuarakan penolakan terhadap kebijakan tersebut, demi menjaga marwah dan kehormatan Tanah Rencong.
Editor/admin: @mpon_Bl@ng
Sumber: Wawancara langsung dengan Ketua IPSM Aceh Utara, dokumentasi media lapangan.
Social Header