![]() |
Gambar: ilustrasi Media GPN NEWS Minggu, 21 Desember 2025 Pewarta: Ali Gondrong Editor: Junaidi Ulka |
AJI Nilai Pernyataan Pejabat Tekan Kebebasan Pers dalam Liputan Bencana
Jakarta, 20 Desember 2025 — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai pernyataan sejumlah pejabat pemerintah berpotensi mengancam kebebasan pers, khususnya dalam peliputan bencana banjir yang melanda tiga provinsi, yakni Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Sorotan tersebut muncul setelah Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak meminta media tidak mengekspos kekurangan pemerintah dalam penanganan bencana. Pernyataan itu disampaikan Jenderal Maruli di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat, 19 Desember 2025.
“Kalau ada hal kekurangan pasti banyak kekurangan. Tolong informasikan kami kekurangan itu, jangan diekspos lewat media,” ujar Maruli, seperti dikutip dari Tempo.
Pada hari yang sama, Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya juga menyampaikan permintaan serupa. Melalui kanal YouTube BNPB, Teddy meminta media lebih fokus pada pemberitaan positif dan tidak menggiring opini seolah pemerintah dan petugas di lapangan tidak bekerja.
“Sampaikan pernyataan dan pertanyaan yang bijak. Jangan menggiring-giring seolah pemerintah tidak kerja, petugas-petugas di lapangan tidak kerja. Di sini semua butuh kerja sama, kekompakan, energi positif,” kata Teddy.
AJI menilai pernyataan tersebut menekan media dan berpotensi mengekang peran pers sebagai watchdog, terutama dalam situasi krisis seperti bencana alam. Menurut AJI, pemberitaan mengenai upaya pemerintah tidak seharusnya menutup ruang kritik. Kritik berbasis fakta justru diperlukan untuk mendorong akuntabilitas dan perbaikan kebijakan.
Dalam berbagai situasi bencana, pembatasan informasi kerap dibenarkan dengan alasan menjaga ketertiban, mencegah kepanikan, dan melindungi korban. Namun dalam praktiknya, kontrol narasi dan pembatasan akses jurnalis justru berisiko mengaburkan kondisi nyata di lapangan.
“Ketika akses jurnalis dibatasi, data dikontrol sepihak, dan narasi resmi dipaksakan, publik kehilangan hak untuk mengetahui skala kerusakan, lambannya distribusi bantuan, atau kegagalan mitigasi yang seharusnya menjadi pelajaran bersama,” tulis AJI dalam pernyataannya.
AJI juga menyoroti praktik intimidasi, penghalangan liputan, serta pelabelan “berita negatif” yang dinilai masih dilakukan demi menjaga citra pemerintah. Kondisi ini dikhawatirkan mendorong praktik swasensor di ruang redaksi, di mana media menjadi takut menyampaikan kritik atau bahkan menarik laporan kritis terkait penanganan pascabencana.
Studi yang tengah dilakukan AJI Indonesia menunjukkan praktik swasensor di media arus utama semakin meningkat. Jika tekanan terselubung terhadap pers terus berlanjut, AJI menilai kebebasan pers di Indonesia akan menghadapi tantangan serius dan berisiko kembali pada praktik otoritarianisme.
AJI menegaskan Undang-Undang Pers menjadi fondasi penting dalam menjaga fungsi pers nasional sebagai penyampai informasi, kontrol sosial, dan sarana pendidikan publik, termasuk dalam situasi darurat. Jurnalis bekerja berdasarkan prinsip jurnalistik melalui reportase lapangan, konfirmasi, serta proses cek dan ricek, sehingga informasi yang disampaikan bukan sekadar opini, melainkan hasil verifikasi.
Atas dasar itu, AJI mendesak:
- KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak dan Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya untuk menarik kembali pernyataan mereka dan menyampaikan permintaan maaf kepada publik.
- Pemerintah memberikan akses seluas-luasnya serta perlindungan keamanan bagi jurnalis dan media dalam meliput bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
- Dewan Pers bersikap tegas membela dan melindungi jurnalis serta media dari ancaman dan intimidasi.
- Para pemimpin redaksi mempertahankan independensi ruang redaksi dan berpihak pada kepentingan publik.
Pernyataan ini ditandatangani oleh Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida dan Ketua Bidang Pendidikan & Etik AJI Sunudyantoro.

Social Header
Kontributor