Oleh: Teuku Saifuddin Alba
Ketua Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Kecamatan Muarabatu | Pemerhati Sosial
Di tengah gemuruh ceramah keagamaan dan tegaknya hukum syariat, Aceh kini menyimpan luka sosial yang dalam: prostitusi yang semakin meluas, diam-diam namun nyata. Ironi ini semakin terasa pahit ketika kita tahu bahwa di balik pelanggaran moral tersebut, ada tekanan ekonomi yang tak mampu diatasi oleh negara maupun pemerintah daerah.
Saya, Teuku Saifuddin Alba sebagai aktivis sosial dan putra asli Aceh, menyaksikan sendiri jeritan masyarakat yang terpaksa bertahan hidup dengan cara yang tidak layak. Banyak perempuan muda, bahkan ibu rumah tangga, yang terlibat dalam praktik prostitusi terselubung. Bukan karena mereka tak tahu halal-haram, tetapi karena mereka kehilangan jalan lain untuk menyambung hidup.
Pengangguran, Akar Masalah yang Tak Kunjung Diselesaikan
Aceh memiliki tingkat pengangguran yang cukup tinggi, terutama di kalangan muda dan perempuan. Setiap tahun ribuan lulusan sekolah dan perguruan tinggi dilepas ke masyarakat tanpa kejelasan arah. Mereka tidak hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan harapan.
Bantuan modal usaha kecil nyaris tak sampai ke gampong. Sementara program pelatihan keterampilan seperti Balai Latihan Kerja (BLK) belum mampu menjawab tantangan zaman. Di sisi lain, investasi besar justru memperkaya kelompok tertentu dan menciptakan kesenjangan yang makin lebar.
Jangan Hanya Menyalahkan Korban
Kita sering melihat razia-razia yang menangkap pelaku prostitusi, lalu diumumkan ke publik sebagai contoh buruk. Tapi siapa yang benar-benar peduli pada kehidupan mereka setelah itu? Apakah mereka diberi alternatif hidup yang lebih baik? Apakah negara hadir mendampingi mereka keluar dari jurang?
Sebagai masyarakat, kita perlu mengubah cara pandang. Prostitusi bukan hanya soal dosa pribadi, tapi juga akibat dari dosa kolektif kita semua,ketika membiarkan kesenjangan terus melebar dan membiarkan ekonomi rakyat terpuruk tanpa arah.
Solusi Harus Nyata, Bukan Sekadar Seremonial
Saya mengajak pemerintah Aceh dan kabupaten/kota untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ketenagakerjaan. Sudah saatnya dana otonomi khusus benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil. Program padat karya, pelatihan kerja berbasis gampong, dan pemberdayaan UMKM harus ditingkatkan secara serius.
Kaum dhuafa yang selama ini luput dari perhatian harus dijadikan prioritas. Perempuan, terutama janda dan ibu rumah tangga yang menjadi tulang punggung keluarga, harus diberikan akses modal dan pelatihan usaha.
“Jangan hanya sibuk mengutip kata kata peduli Rakyat, tapi lupa mengisi perut rakyat.”
Penutup
Prostitusi bukan akar, melainkan buah pahit dari sistem sosial-ekonomi yang timpang. Kita bisa menutup-nutupi realitas ini dengan jargon dan razia, tapi jika akar persoalannya tidak ditangani, maka kemunduran moral ini akan terus berlangsung.
Saya percaya, Aceh bisa bangkit. Tapi itu hanya mungkin jika kita berani jujur, berani berubah, dan berani bertindak nyata.
Editor /admin : @mpon_Bl@ng
Social Header