![]() |
Mayjen (Purn) TNI T. Abdul Hafil Fuddin SH SIP MH (Mantan Pangdam Iskandar Muda) [Foto.dok - Media] Mantan Pangdam IM Kritik Pemindahan Empat Pulau Aceh ke Sumut: Langkah Keliru dan Abaikan Sejarah |
Gajahputihnews.com
Banda Aceh || Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memindahkan status administratif empat pulau dari Aceh Singkil ke Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menuai kritik tajam dari mantan Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen TNI (Purn) Teuku Abdul Hafil Fuddin.
Empat pulau yang dimaksud—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—menurut Hafil, secara historis dan yuridis sah merupakan bagian dari Aceh.
Ia menilai pemindahan tersebut merupakan “langkah keliru yang mengabaikan sejarah dan keadilan administratif.”
“Bagaimana mungkin kesepakatan batas wilayah yang disahkan pemerintah pusat pada 1992 tiba-tiba diabaikan? Ini mencederai prinsip keadilan administratif,” tegas Hafil.
Bukti Historis dan Legal: Dari Peta TNI AD 1978 hingga Kesepakatan 1992
Hafil merujuk Peta Topografi TNI AD Tahun 1978 dan kesepakatan batas wilayah antara Gubernur Aceh dan Sumut tahun 1992, yang disaksikan langsung oleh Mendagri saat itu. Menurutnya, dokumen-dokumen ini mempertegas kepemilikan Aceh atas keempat pulau tersebut.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti pengelolaan aktif Pemerintah Aceh sejak era 1960-an, termasuk pembangunan dermaga, mushala, rumah singgah, dan tugu wilayah. Hal ini, menurut Hafil, memperkuat prinsip effectivités dalam hukum internasional: "Siapa yang mengelola, dialah pemilik sah secara de facto."
Implikasi Strategis: Maritim, Energi, dan Kedaulatan
Pulau-pulau tersebut memiliki posisi penting dalam pembangunan ekonomi maritim kawasan Barat Selatan Aceh (Barsela), termasuk potensi konservasi laut dan sumber energi. Hafil memperingatkan, kehilangan keempat pulau ini dapat menghambat visi Aceh sebagai poros maritim nasional.
“Ini bukan sekadar garis di peta, tapi identitas dan martabat kami,” ujarnya tegas
Desakan Gugatan dan Mobilisasi Opini Publik
Sebagai tokoh masyarakat Barsela, Hafil mendesak Pemerintah Aceh untuk membawa perkara ini ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi atas dasar maladministrasi. Ia juga mendorong mobilisasi opini publik nasional dan internasional guna mencegah preseden buruk dalam pengelolaan batas wilayah.
Selain itu, ia menyoroti absennya konsultasi publik dan proses hukum terbuka dalam penerbitan keputusan Mendagri ini. Menurutnya, prinsip uti possidetis juris yang mengacu pada batas wilayah saat kemerdekaan Indonesia, harus dijadikan acuan utama dalam penentuan batas administratif.
“Aceh telah berkorban untuk NKRI. Kini, negara harus hadir menjaga keutuhannya,” pungkas Hafil.(jun)
Sumber:Katacyber.com
Social Header