Breaking News

Amnesti untuk Separatis Papua: Jalan Damai atau Ancaman Disintegrasi ?

Artikel Hukum
Adhifatra Agussalim, CIP, CIAPA, CASP, CPAM, C.EML

Redaksi

Pemberian amnesti sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing dalam dunia politik, terutama dalam konteks resolusi konflik. Pemerintah menganggap bahwa pendekatan militeristik semata tidak lagi cukup untuk mengatasi kompleksitas konflik Papua. Melalui amnesti, diharapkan para mantan separatis akan kembali ke pangkuan NKRI, mengurangi kekerasan, dan membuka ruang dialog damai yang lebih luas.  Meskipun amnesti  dimaksudkan untuk mendorong perdamaian, tentunya pemberian amnesti bukan tanpa risiko. 

Banyak kalangan  mengkhawatirkan bahwa amnesti bisa dianggap sebagai bentuk "kelemahan" pemerintah dalam menghadapi gerakan separatisme. Di tengah ketegangan geopolitik kawasan dan potensi intervensi asing terhadap isu Papua, konsesi pemberian amnesti dinilai bisa melemahkan posisi tawar Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya.

Bagaimana sebenarnya menempatkan lembaga amnesti dalam rangka konflik Papua ?

Sekurangnya terdapat tiga prinsip atau azas yang harus diperhatikan dalam rangka  amnesti, yaitu prinsip keadilan, prinsip kedaulatan negara, dan prinsip kedaulatan presiden, yang dapat diuraikan  sebagai berikut:

(1) Prinsip Keadilan:  Berdasarkan prinsip keadilan berarti membuka kesempatan pilihan antara adil secara komutatif dan adil secara distributif. Pilihan adil secara komutatif mengandung mskna pengutamaan memperlakukan semua orang sebagai sama rata. Sedangkan pilihan adil secara distributif mengandung mskna pengutamaan memperlakukan masing-masing orang secara berbeda; 

(2) Prinsip Kedaulatan Negara: Berdasarkan prinsip Kedaulatan Negara mengandung makna bahwa negara memiliki  hak untuk mengatur urusan dalam negerinya tanpa campur tangan dari pihak negara. Prinsip kedaulatan negara merupakan cerminan hak negara untuk mengontrol wilayah, penduduk, dan kekuasaannya secara penuh. Dengan demikian prinsip kedaulatan negara secara internal  menempatkan  kekuasaan tertinggi ada pada negara, sedangkan secara eksternal  menempatkan negara untuk terbebas dari intervensi negara lain dalam urusan dalam negeri; 

(3) Prinsip Kedaulatan:  Berdasarkan Prinsip Kedaulatan Presiden, berarti presiden memegang posisi tertinggi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan negara. Sedangkan kedaulatan rakyat tercermin  pada lembaga MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD.  Presiden adalah  pelaku kedaulatan dalam menjalankan kekuasaan eksekutif.

Secara konseptual,  amnesti berarti suatu pengampunan atau penghapusan hukuman pidana. Penghapusan hukuman  diberikan oleh kepala negara atau presiden  kepada pihak-pihak yang telah melakukan tindak pidana. Hal ini sesuai dengan etimologi bahasa Yunani  "amnesteia" yang berarti "melupakan". 

Didalam terminologi hukum, amnesti  berati suatu tindakan Presiden untuk menghapus hukuman pidana yang telah dijatuhkan atau belum dijatuhkan. Amnesti pada umumnya digunakan dalam situasi konflik bersifat politik, yang diarahkan guna terciptanya perdamaian dan rekonsiliasi. Oleh karena itu secara konsep 

Teori amnesti selalu berkaitan erat dengan  tujuan perdamaian, rekonsiliasi, dan keadilan sosial, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 

(1) Amnesti Tujuan Perdamaian: mengandung makna bahwa pengampunan atau penghapusan hukuman memiliki keutamaan  untuk memulihkan hubungan, membangun kepercayaan, dan mendorong rekonsiliasi diantar kelompok yang terlibat dalam konflik; 

(2) Amnesti Tujuan Rekonsiliasi: mengandung makna bahwa pengampunan atau penghapusan hukuman memiliki keutamaan untuk mengakhiri konflik,  meninggalkan kekerasan dan 

Reintegrasi sosial dengan cara kembali berkontribusi dalam masyarakat; (3) Amnesti Tujuan Keadilan Sosial: mengandung makna bahwa pengampunan atau penghapusan hukuman memiliki keutamaan untuk memulihkan keseimbangan dan keadilan dalam situasi konflik atau pelanggaran hak asasi manusia.

Pemaknaan amnesti yang melibatkan prinsip keadilan, prinsip kedaulatan negara, dan prinsip kedaulatan presiden, yang secara konsep teoritik diarahkan guna tujuan perdamaian, rekonsiliasi, dan keadilan sosial, telah menunjukan kepada kita semua bahwa sesungguhnya  amnesti merupakan  konsep yang sangat kompleks dan sekaligus  kontroversial. Kompleksitas amnesti terutama dalam konteks pelanggaran HAM  atau kejahatan internasional. 

Oleh karena itu diperlukan kalkulasi komprehensif baik dari sisi hukum maupun etika. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa amnesti tidak digunakan untuk menghindari pertanggungjawaban terhadap pelanggaran HAM. 

Demikian kompleks dan kontroversialnya konsep amnesti di dunia ini, sekurangnya tercermin pada tidak ada satupun konvensi internasional yang secara spesifik mengatur  amnesti. Konsep amnesti lebih cenderung sebagai bagian dari proses perdamaian atau rekonsiliasi pada tataran nasional. Keterkaitan amnesti dalam  perjanjian internasional pada umumnya dikaitkan pada isu HAM dan hukum pidana internasional.  

Dengan demikian didalam arena internasional, pembicaraan berkaitan dengan amnesti selalu berada pada kerangka persoalan HAM dan Hukum Pidana Internasional. Mengingat pengaturan amnesti berada lebih pada tataran hukum nasional, maka stigma amnesti sebagai kendaraan yang dapat dipakai untuk menghindar dari  pertanggung-jawaban atas  pelanggaran HAM misalnya, telah menambah pelik keberadaan lembaga amnesti. 

Amnesti pada umumnya  merupakan keputusan yang dibuat oleh pemerintah suatu negara, dan dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional. 

Pemberian amnesti dapat menjadi kontroversial, jika memberikan pengampunan yang berlebihan terhadap pelaku kejaharan.

Amnesti di Indonesia diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 dan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Sebelum amandemen UUD 1945, kewenangan pemberian amnesti mutlak berasa pada presiden. Saat ini pemberian amnesti oleh presiden wajib terlebih dulu minta pertimbangan kepada DPR dan MA.

Tanggapan terhadap kebijakan amnesti oleh Presiden Prabowo sangat beragam. Sebagian organisasi masyarakat sipil dan aktivis HAM menyambut baik langkah ini sebagai jalan keluar dari siklus kekerasan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Mereka menekankan bahwa hak-hak dasar masyarakat Papua harus tetap menjadi prioritas, termasuk keadilan sosial, ekonomi, dan politik. 

Sebaliknya, sejumlah anggota parlemen, khususnya dari partai-partai nasionalis, menyerukan evaluasi lebih dalam terhadap dampak kebijakan ini. Mereka mendesak agar proses pemberian amnesti melibatkan pengawasan ketat dan partisipasi masyarakat luas, bukan hanya keputusan politik di tingkat elit.

Di tengah pro dan kontra yang mengemuka, satu hal yang jelas adalah bahwa persoalan Papua membutuhkan solusi yang komprehensif, tidak hanya berbasis kekuatan keamanan. Amnesti bisa menjadi langkah awal penting, tetapi harus diikuti oleh komitmen nyata untuk membangun kepercayaan, meningkatkan kesejahteraan, serta menjamin perlindungan hak-hak asasi masyarakat Papua.

Keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada bagaimana negara memastikan bahwa pemberian amnesti bukan sekadar simbol politik, melainkan bagian dari strategi nasional yang konsisten, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Belajar dari penyelesaian Aceh di tingkat Internasional dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang di dunia internasional dikenal Acheh Sumatera Nation Liberation Front (ASNLF) dan selanjutnya diturunkan dalam Undang - Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) Nomor 11 Tahun 2006 juga bisa dijadikan _starting point_ secara komprehensif untuk jalan damai bagi Aktivis  Kemerdekaan dan Rakyat Papua.

Pemberian amnesti kepada  aktivis Kemerdekaan Papua dapat dikatakan merupakan  kebijakan yang berani. Meski terdapat  peluang besar terjadinya  perubahan, namun risiko yang dihadapi juga  tidak kecil. Pemerintah harus cermat menyeimbangkan idealisme damai dengan keharusan menjaga kedaulatan negara. Dialog, pengawasan publik, dan keseriusan dalam implementasi kebijakan menjadi kunci agar jalan damai tidak menjadi awal keretakan baru di tubuh bangsa. 

Untuk itu diperlukan implementasi  kebijakan berwawasan kebangsaan secara tepat sasaran.  Semoga kebijakan amnesti Presiden Prabowo Subianto sesuai dengan harapan para pendiri bangsa Indonesia. Amin Ya Rabbal Alamin, Wassalam.

Adhifatra Agussalim, CIP, CIAPA, CASP, CPAM, C.EML

Praktisi Internal Auditor, aktif sebagai Sekretaris DPW Sekber Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Aceh, dan sebagai Pemimpin Redaksi Media MNCCTVNEWS.COM, telah memiliki Certified Audit SMK3 Professional (CASP), Certified Professional Audit Manager (CPAM), Certified Internal Auditor Professional Advance (CIAPA), Certified Ilmu Philosophy (CIP), Sertifikat Kompetensi UKW Wartawan Muda dan juga tergabung sebagai Member of The Institute of Internal Auditors (IIA) Indonesia, Associate member Institute of Compliance Professional Indonesia (ICOPI), Member of Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA) dan aktif dibeberapa komunitas penulis seperti Rumah Produktif Indonesia (RPI) dan juga Komuniti Antologi Secawan Kopi Selangor Darul Ehsan, Malaysia, serta KPKERS Dili, Timor Leste.

Gajahputihnews.com


© Copyright 2022 - GAJAH PUTIH NEWS.COM