Breaking News

Bank Aceh Syariah dan Dilema Pembiayaan UMKM: Antara Risiko dan Tanggung Jawab

Bank Aceh Syariah dan Dilema Pembiayaan UMKM: Antara Risiko dan Tanggung Jawab 

Oleh: Junaidi Yusuf, SE
Redaksi Gajahputihnews.com

Bank Aceh Syariah (BAS) tengah menjadi sorotan. Isu yang mencuat menyentuh dilema klasik dalam dunia perbankan: bagaimana menyeimbangkan antara tuntutan regulasi, kebutuhan sektor riil, dan strategi mitigasi risiko. Artikel ini mencoba membedah persoalan tersebut dengan pendekatan yang sederhana namun mendalam.

Bank Aceh Syariah: Bank Daerah Berkelas Nasional

Sebagai salah satu Bank Pembangunan Daerah (BPD) terbaik di Indonesia, BAS menonjol dari sisi aset, jaringan bisnis, dan kinerja keuangan. Dalam beberapa aspek, kinerjanya bahkan kerap disandingkan dengan bank nasional. Capaian ini tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Aceh.

Namun, keunggulan ini belum sepenuhnya tercermin dalam peran BAS terhadap pembangunan ekonomi lokal, khususnya dalam hal pembiayaan kepada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Mengapa UMKM Begitu Penting?

UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional. Kontribusinya signifikan, terutama melalui penciptaan lapangan kerja dan konsumsi rumah tangga, yang menjadi penopang utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan, pada krisis moneter 1998, UMKM terbukti menjadi pahlawan yang menjaga roda ekonomi tetap berputar.

Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan bahwa seluruh bank di Indonesia wajib menyalurkan minimal 20% dari total kreditnya untuk UMKM. Di Aceh, ketentuan ini bahkan diperkuat melalui Qanun, yang menetapkan batas minimum pembiayaan UMKM sebesar 40%.

Mengapa BAS Belum Optimal Menyalurkan Pembiayaan ke UMKM?

Niat BAS untuk mendukung UMKM Aceh sejatinya ada. Namun, realisasi di lapangan masih jauh dari harapan.

Pertama, banyak pelaku UMKM belum memenuhi persyaratan administratif seperti NIB, NPWP, laporan keuangan, atau agunan yang memadai. Kondisi ini menyebabkan mereka otomatis terdiskualifikasi dalam proses seleksi kredit.

Kedua, tingginya tingkat risiko gagal bayar menjadikan BAS lebih berhati-hati. Ketika target-target realisasi pembiayaan harus dicapai, risiko ini menjadi alasan utama untuk "bermain aman".

Strategi BAS: Minim Risiko, Tapi Mengorbankan UMKM?

Demi menjaga stabilitas keuangan dan memastikan profitabilitas, BAS lebih memilih menyalurkan kredit konsumtif kepada aparatur sipil negara (PNS, PPPK, dan lainnya), yang dinilai lebih aman karena memiliki penghasilan tetap dan risiko gagal bayar yang rendah.

Di saat yang sama, BAS juga menempatkan dana triliunan rupiah dalam bentuk deposito di bank daerah lain. Strategi ini memang cerdas dari sisi mitigasi risiko, namun ironisnya, berkontribusi pada keringnya likuiditas pembiayaan sektor riil di Aceh.

Dengan kata lain, BAS meraup keuntungan dari investasi aman di luar daerah, sementara pelaku UMKM lokal justru kesulitan mengakses dana untuk mengembangkan usahanya.

Konsekuensi: Denda dan Mandeknya Pertumbuhan Ekonomi Lokal

Akibat tak mampu memenuhi target pembiayaan UMKM, BAS harus membayar denda sekitar Rp4 miliar per tahun kepada Bank Indonesia. Ini adalah harga dari pilihan "bermain aman" — keputusan yang tampaknya lebih berpihak pada kepentingan internal ketimbang pengembangan ekonomi daerah.

Padahal, "bermain aman" seharusnya menjadi tugas aparat keamanan, bukan institusi perbankan pembangunan daerah. 

Solusi: Pendampingan UMKM, Bukan Hanya Penyaluran Dana

Jika BAS ingin keluar dari lingkaran stagnasi ini, maka pendekatan baru mutlak diperlukan. Pembiayaan UMKM tidak cukup hanya dengan menyalurkan dana — harus disertai pendampingan dan supervisi intensif.

BAS perlu hadir sebagai mitra pengembangan, bukan hanya sebagai pemberi pinjaman. Edukasi tentang legalitas usaha, manajemen keuangan, hingga tata kelola bisnis harus menjadi bagian dari layanan bank. Dengan pendekatan ini, pelaku UMKM akan lebih siap dan layak menerima pembiayaan.

Dalam konteks ini, pegawai BAS juga harus lebih aktif terjun ke lapangan. Bukan sekadar mengenakan lanyard sambil nongkrong di warung kopi tapi hadir sebagai fasilitator perubahan di sektor riil.

Penutup: Saatnya BAS Kembali ke Akar Fungsinya

Untuk tetap relevan dan berdampak, BAS harus berani mengambil peran lebih besar dalam membina UMKM Aceh. Profit dari investasi di luar daerah memang menggiurkan, tapi fungsi utama Bank Pembangunan Daerah adalah membangun daerahnya sendiri.

Sudah waktunya BAS tampil sebagai motor penggerak ekonomi Aceh, bukan sekadar mesin pencetak dividen bagi pemegang saham.


© Copyright 2022 - GAJAH PUTIH NEWS.COM