![]() |
Gedung Mahkamah Konstitusi ( Foto: Umum) |
Penulis: Junaidi
Editor redaksi | Senin, 1 Juli 2025 Gajahputihnews.com
Kekhususan pengaturan masa jabatan keuchik dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap status keistimewaan Aceh, yang didasarkan pada sejarah perjuangan rakyat serta karakter adat dan budayanya.
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Perkara Nomor 40/PUU-XXIII/2025 pada Senin (30/6/2025) di Ruang Sidang MK untuk menguji konstitusionalitas Pasal 115 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh). Sidang mendengarkan keterangan dari DPR RI dan Presiden (Pemerintah).
Permohonan diajukan oleh lima keuchik (kepala desa) di Aceh yang mempermasalahkan ketentuan masa jabatan keuchik yang dibatasi selama enam tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan, sebagaimana tertulis dalam Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh. Para Pemohon membandingkan ketentuan ini dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang telah diubah melalui UU Nomor 3 Tahun 2024, yang mengatur masa jabatan kepala desa selama delapan tahun dengan satu kali pemilihan kembali.
Penegasan Asas Kekhususan
Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudiarta, menegaskan bahwa perbedaan masa jabatan antara keuchik di Aceh dan kepala desa di daerah lain tidak bertentangan secara konstitusional. Ia menjelaskan bahwa UU Pemerintahan Aceh merupakan lex specialis yang berlaku khusus untuk Aceh, sehingga mengesampingkan ketentuan umum dalam UU Desa secara nasional.
“Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 118 UU Nomor 3 Tahun 2024 tidak secara eksplisit menyebut berlaku untuk keuchik di Aceh. DPR telah mempertimbangkan kekhususan daerah dalam Pasal 107, 109, serta penjelasan umum UU Desa,” kata Wayan.
Penghormatan terhadap Keistimewaan Aceh
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik, mewakili Pemerintah menyatakan bahwa UU Pemerintahan Aceh diterbitkan sebagai pengakuan dan penghormatan atas keistimewaan Aceh yang lahir dari sejarah perjuangan dan karakter adat budaya rakyatnya.
“Perbedaan ini mencerminkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan bertujuan menjamin serta melindungi masyarakat Aceh dalam kehidupan sosial dan politik. Oleh karena itu, Pasal 115 ayat (3) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, melainkan memberikan kepastian hukum,” jelas Akmal.
Ia juga menegaskan bahwa perlakuan berbeda bukan berarti diskriminasi, melainkan penghormatan terhadap kekhususan daerah dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kewenangan Khusus Aceh
Wakil Ketua DPR Aceh, Ali Basrah, menegaskan bahwa Aceh memiliki status hukum istimewa yang diakui oleh UUD 1945. Karena itu, UU Nomor 11 Tahun 2006 tetap berlaku mengatur masa jabatan keuchik selama enam tahun.
“Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali, ketentuan dalam UU Desa tidak dapat diberlakukan di Aceh sampai ada putusan lain. Pasal 115 UU 11/2006 tetap mengikat,” tegas Ali.
Naskah Akademik RUU Pemerintahan Aceh juga menegaskan bahwa otonomi daerah Aceh didasarkan pada kewenangan khusus dari pemerintah pusat, termasuk pengaturan pemerintahan gampong (desa).
Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Muhammad Junaidi, menambahkan bahwa secara prosedural, perubahan UU Pemerintahan Aceh telah diatur untuk menjamin penghormatan terhadap Otonomi Khusus Aceh. Saat ini Pemerintah Aceh telah mengusulkan perubahan terhadap UU Nomor 11 Tahun 2006 kepada DPR.
“Tidak ada norma dalam Pasal 115 ayat (3) yang bertentangan dengan UUD 1945. Justru pasal ini sesuai dengan amanat Pasal 18B UUD 1945 terkait pengaturan gampong,” ujar Junaidi.
Ia menegaskan, Pemerintah Aceh menolak permohonan uji materiil yang diajukan, karena kewenangan perubahan undang-undang adalah hak DPR dan Presiden.
Permohonan dan Argumen Pemohon
Permohonan ini diajukan oleh lima keuchik Aceh: Venny Kurnia, Syukran, Sunandar, Badaruddin, dan Kadimin. Mereka menguji Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan:
"Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya."
Dalam sidang perdana di MK, Senin (28/4/2025), kuasa hukum para Pemohon, Febby Dewiyan Yayan, menyatakan Pasal ini menghilangkan hak konstitusional Pemohon sesuai Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Febby menjelaskan, berdasarkan Putusan MK Nomor 92/PUU-XXII/2024 tanggal 3 Januari 2025 dan UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU Desa, masa jabatan kepala desa nasional diatur selama delapan tahun dengan pemilihan kembali satu kali. “Ketentuan ini berlaku nasional termasuk Aceh sejak diundangkan, namun terhambat oleh Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Pemerintah Aceh telah menyatakan tidak keberatan terhadap pemberlakuan UU Desa di Aceh, meski Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh masih berlaku sampai putusan MK.
Febby menegaskan, kewenangan untuk menyatakan norma dalam undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 ada di MK.
Berdasarkan itu, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa masa jabatan keuchik adalah delapan tahun dengan pemilihan kembali satu kali.
Sumber: mkri
Social Header